Bapak saya bilang kalo orang pintar adalah orang yang tau akan segala hal, tetapi kata dosen saya orang pintar itu tidak harus tau akan segala hal. Oke kita bahas kedua pernyataan tersebut.
Kepintaran muncul ketika seseorang menggunakan otaknya untuk melakukan(memcahkan masalah) sesuatu hal. Kita disekolahkan agar kita menggunakan otak kita, yang tujuannya agar kita tahu atau bisa melakukan sesuatu hal. Mungkin hal ini yang mau dikatakan bapak saya.
Kemampuan seseorang pada suatu hal akan berbeda dengan orang lainya, misal ada orang yang bisa berbahasa dengan baik tetapi tidak bisa berhitung dengan baik.Bukan bermaksud membatasi kemampuan seseorang, tapi akan lebih baik seseorang mengasah apa yang dia bisa. Mungkin ini apa yang mau dikatakan dosen saya.
Tetapi kita lihat pada kondisi sekeliling, pada keadaan pendidikan kita. Pada masa SD, SMP, SMA siswa dituntut untuk bisa dalam segala bidang, siswa dipaksa untuk lulus pada semua bidang pelajaran, apa bila tidak lulus salahsatunya maka siswa dinyatakan tidak berhak melanjutkan ke jenjang berikutnya(tapi katanya sekarang sudah menggunakan persentase kelulusan, sehingga hasil ujian tidak lagi menjadi penentu utama kelulusan). Ketika lulus SMA, siswa dituntut untuk masuk universitas melalui serangkaian tes. Diana yang memiliki skor tertinggi memiliki peluang lebih besar untuk diterima oleh universiatas. Sehingga kebanyakan siswa mengambil jalan pintas dengan mengikuti seraangkaian les/tambahan kelas pada lembaga-lembaga tertentu, dan produknya adalah sekumpulan siswa dengan dengan skor. Ketika mereka masuk kuliah, universitas juga menuntut mereka untuk lulus disegala bidang yang ada pada jurursan mereka dan apabila tidak lulus maka akan terancam kena DO (DO apabila belum beres kuliah selama 5 atau 6 tahun). Sehingga mereka menjadi mahasiswa dengan IPK. Tersering kali mereka tidak mengetahui apa yang mereka pelajari, yang penting dapet nilai A, ketika praktikum saya sering mendapatkan teman saya melakukan sesuatu hanya terfokus pada modul atau intruksi.
Apabila dilihat dari contoh diatas tujuan pendidikan bangsa kita bukan untuk mempintarkan bangsa. Karena produk dari pendidikan kita jauh dari kata pintar yang dimaksud bapak saya ataupun dosen saya.
Saya adalah produk setengah jadi dari pendidikan kita.
Kepintaran muncul ketika seseorang menggunakan otaknya untuk melakukan(memcahkan masalah) sesuatu hal. Kita disekolahkan agar kita menggunakan otak kita, yang tujuannya agar kita tahu atau bisa melakukan sesuatu hal. Mungkin hal ini yang mau dikatakan bapak saya.
Kemampuan seseorang pada suatu hal akan berbeda dengan orang lainya, misal ada orang yang bisa berbahasa dengan baik tetapi tidak bisa berhitung dengan baik.Bukan bermaksud membatasi kemampuan seseorang, tapi akan lebih baik seseorang mengasah apa yang dia bisa. Mungkin ini apa yang mau dikatakan dosen saya.
Tetapi kita lihat pada kondisi sekeliling, pada keadaan pendidikan kita. Pada masa SD, SMP, SMA siswa dituntut untuk bisa dalam segala bidang, siswa dipaksa untuk lulus pada semua bidang pelajaran, apa bila tidak lulus salahsatunya maka siswa dinyatakan tidak berhak melanjutkan ke jenjang berikutnya(tapi katanya sekarang sudah menggunakan persentase kelulusan, sehingga hasil ujian tidak lagi menjadi penentu utama kelulusan). Ketika lulus SMA, siswa dituntut untuk masuk universitas melalui serangkaian tes. Diana yang memiliki skor tertinggi memiliki peluang lebih besar untuk diterima oleh universiatas. Sehingga kebanyakan siswa mengambil jalan pintas dengan mengikuti seraangkaian les/tambahan kelas pada lembaga-lembaga tertentu, dan produknya adalah sekumpulan siswa dengan dengan skor. Ketika mereka masuk kuliah, universitas juga menuntut mereka untuk lulus disegala bidang yang ada pada jurursan mereka dan apabila tidak lulus maka akan terancam kena DO (DO apabila belum beres kuliah selama 5 atau 6 tahun). Sehingga mereka menjadi mahasiswa dengan IPK. Tersering kali mereka tidak mengetahui apa yang mereka pelajari, yang penting dapet nilai A, ketika praktikum saya sering mendapatkan teman saya melakukan sesuatu hanya terfokus pada modul atau intruksi.
Apabila dilihat dari contoh diatas tujuan pendidikan bangsa kita bukan untuk mempintarkan bangsa. Karena produk dari pendidikan kita jauh dari kata pintar yang dimaksud bapak saya ataupun dosen saya.
Saya adalah produk setengah jadi dari pendidikan kita.
Komentar
Posting Komentar